never ending story

Rabu, 06 Januari 2010

GUS DUR DALAM "KACAMATA BERBAGAI UKURAN"

Julukan paling tepat bagi Gus Dur sekarang adalah the rapidly Shrinking president, presiden yang mengerdil dengan cepat. Betapa tidak. Saat terpilih delapan bulan silam, ia dianggap sebagai produk sebuah kompromi nasional, yang karenanya diharapkan dapat menciptakan ruang-ruang politik yang lebih luas untuk membawa negeri kita keluar dari kemelut. Dengan Megawati sebagai wakil dan dengan basis legitimasi yang kuat, ia dianggap memiliki kesempatan besar untuk mulai menancapkan dengan kukuh pilar pilar demokrasi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menjamin stabilitas sosial.

Di luar negeri, Gus Dur dipuja dan seolah dianggap mukjizat demokrasi. Mereka terkagum-kagum, dan dengan antusias berharap Gus Dur akan menjadi contoh pertama seorang pemimpin Islam yang demokratis dan berhasil memerintah negerinya. Harian terpenting di Amerika Serikat The New York Times, bahkan menempatkan posisi Gus Dur di tempat yang lebih penting ketimbang Sri Paus dan Dalai Lama.

Tetapi, apa yang kita lihat sekarang? Bahkan dari kalangan yang mendukungnya pun, seperti Partai Kebangkitan Bangsa dan para aktivis serta intelektual ying berkumpul di Kuta, Bali, beberapa waktu lalu, argumen yang mereka berikan untuk tetap mempertahankan Gus Dur sudah sangat defensif. Mereka tidak lagi berkata bahwa Gus Dur harus dipertahankan karena ia pemimpin yang terbaik, tetapi karena kemungkinan buruk, yaitu konflik konflik keras di kalangan massa yang mungkin akan mengiringi penggantian Gus Dur. Argumen mereka dilandasi oleh ancaman dan kecemasan. Bukan lagi o1eh harapan dan optimisme.

Inilah bukti terbaik betapa Gus Dur, dalam waktu relatif singkat, telah terpuruk ke posisi yang sangat rendah – sesuatu yang mungkin akan dicatat sebagai hal tragis dalam sejarah politik kita kelak. Mengapa semua itu terjadi? Mengapa harapan terhadapnya begitu cepat berganti menjadi kekecewaan dan kecemasan?

Menurut saya, penyebabnya tidak terletak pada faktor-faktor eksternal, seperti persekongkolan politik, hantu konspi rasi, dan semacamnya. Penyebabnya terletak pada Gus Dur sendiri. Setelah delapan bulan berkuasa, kita sudah bisa melihat Gus Dur yang sesungguhnya. Kita sudah bisa membaca pola kepemimpinannya, kemampuan memerintah, dan moralitas politik yang melekat padanya.

Potret yang tampak sejauh ini: dari segi kepemimpinan, nilai yang bisa diberikan kepadanya adalah C minus. Ia tidak berhasil melakukan metamorfosis kepemimpinan, dari pemimpin tradisional menjadi pemimpin modern. Gus Dur sama sekali tidak memiliki perencanaan yang terperinci tentang apa yang harus ia lakukan. Dan, kalau toh Gus Dur memang memiliki sebuah agenda, kita tahu, ia mampu mengubah, mengaburkan, dan menelikung agenda itu, setiap hari. Dalam takaran tertentu, “fleksibilitas” seperti ini memang perlu bagi seorang politikus Untuk mengarungi medan politik yang kompleks. Tetapi, pada Gus Dur, takarannya sudah sangat overdosis. Akibatnya, tidak seorang pun saat ini yang mengerti apa yang akan dilakukan dengan sungguh sungguh oleh pemerintah.

Dari segi moralitas publik, nilai yang diperoleh Gus Dur malah lebih jelek: D minus. Gus Dur terlalu sering memberi contoh yang sangat jelek bagi publik. Dalam banyak kesempatan, saat harus menjelaskan masalah Ambon, Aceh, atau masalah masalah besar lain yang kita hadapi, ia selalu menuduh orang itu atau orang ini yang menjadi penyebab segala masalah. la bukan cuma pengikut "kultur konspirasi”, tetapi dialah salah satu sumber dan penciptanya. Ia terus menerus menuduh dan mencari kambing hitam. Pengaruh dari contoh yang diberikan Gus Dur ini sebenarnya bukan lagi jelek, tetapi sudah berbahaya. Sudah begitu, Gus Dur juga tidak mampu menjadi pelita kejujuran. Sebaliknya, kata-katanya sama sekali tidak bisa dipegang (orang yang agak kasar akan berkata, dia adalah seorang pembohong).

Betul bahwa kadang-kadang, karena keterbatasan manusia dan hakikat kekuasaan itu sendiri, seorang politikus terpaksa harus menelikung kata kata dan menyembunyikan kebe naran. Tetapi seorang politikus negarawan akan mengerti, itu semua adalah bagian dari sebuah taktik untuk mencapai tujuan yang lebih besar dan mulia. Persoalannya, pada Gus Dur, penelikungan kata kata itu bukan bagian dari sebuah tujuan yang lebih besar, melainkan hanya sebagai akibat dari kelemahan pribadinya.

Dari segi kepiawaian politik, nilai Gus Dur juga tidak lebih baik. Dalil pertama seorang politikus kawakan adalah, "Carilah kawan sebanyak mungkin, dan jangan menciptakan musuh kalau memang tidak perlu". Dalil ini sedari awal sudah dilanggar oleh Gus Dur. Ia menciptakan musuh terus menerus, tanpa sebab sebab yang jelas, dan tanpa kalkulasi kekuatan riil. Akibatnya, kalau kelemahan moral Gus Dur membuat kita bertanya akan kredibilitas dia, kelemahannya dalam kalkulasi politik menyebabkan dia kehilangan basis basis dukungan yang semula dinikmatinya. Pertanyaan kita kemudian lalu apa? Karena sudah berada di titik terendah, apakah Gus Dur sudah perlu diturunkan sekarang?

Kalau memegang kekuasaan sepenuhnya untuk menentukan nasib Gus Dur, saya akan memberinya kesempatan paling lama enam bulan lagi. Saya akan memberi dia peringatan sekeras kerasnya, tetapi saya tetap memberi dia peluang untuk berubah. Kelau memang berubah, silakan jalan terus. Kalau tidak, ya sudah, palu harus diketuk. Negara kita terlalu besar, dan urusan kita terlalu banyak hanya untuk direpotkan terus menerus oleh seorang Gus Dur.